Minggu, 12 Desember 2010

AS HEBOH TERNYATA RAJA ARAB SAUDI MINTA IRAN DI SERANG AS

KERINCI:

 

JAMBI EKSPRES:
AS Heboh, Raja Arab Ternyata Minta Iran Diserang
Washington
Raja Arab Saudi Abdullah berulangkali mendesak Amerika Serikat menyerang program nuklir Iran, sementara China dilaporkan melancarkan serangan "cyber" terhadap Amerika Serikat.

Dua fakta itu terungkap dari pesan-pesan rahasia lewat kabel diplomatik Amerika Serikat yang dirilis hari ini dan menandai kebocoran diplomatik yang memalukan dalam sejarah diplomasi AS, demikian Reuters, Senin.

Lebih dari 250 ribu dokumen yang dibocorkan oleh lima grup media dari laman peniup pluit WikiLeaks, mengungkap pandangan rahasia para pemimpin dunia dan informasi sensitif mengenai terorisme dan penyebaran senjata nuklir yang didokumentasikan para diplomat AS di luar negeri, lapor New York Times.

Di antara pembocoran dokumen yang diantaranya diwartakan harian Inggris yang juga dikirimi dokumen-dokumen super rahasia ini, The Guardian, menyebutkan bahwa Raja Abdullah dilaporkan "kerap kali mendesak AS menyerang Iran demi mengakhiri program senjata nuklirnya."

"Potong kepala ular!," kata Duta Besar Saudi untuk Washington, Adel al-Jubeir, mengutip perkataan Raja Abdullah, seperti bunyi laporan hasil pertemuan Raja Abdullah dengan Jenderal David Petraeus pada April 2008.

Dokumen-dokumen bocor yang sebagian besar dari masa tiga tahun terakhir itu, juga mengungkap tuduhan AS bahwa Politbiro Partai Komunis China menggelar serangan gangguan terhadap sistem komputer Google, sebagai bagian dari kampanye lebih luas yang terkoordinasi untuk menyabotase sistem komputer yang dilakukan oleh para agen rahasia China, pakar keamanan swasta, dan penjahat Internet outlaws, demikian the Times.

Koran terkemuka AS itu juga mengatakan bahwa dokumen-dokumen itu menyebutkan para donatur Saudi tetap menjadi penyumbang utama kelompok-kelompok militan Sunni sejenis Alqaeda.

Dokumen itu menyebut negeri kecil di Teluk Persia, Qatar, yang menjadi tempat di mana militer AS berpangkalan selama bertahun-tahun, adalah negara terburuk dalam melangsungkan kampanye antiterorisme di kawasan itu, begitu laporan kawat diplomatik Departemen Luar Negeri AS Desember lalu.

Suratkabar itu menyatakan banyak dari kawat diplomatik AS itu menyebutkan sumber-sumber rahasia para diplomat AS, dari anggota legislatif asing dan pejabat militer sampai aktivis HAM dan jurnalis, dengan seringkali lewat peringatan berikut: "Please protect" (Lindungi dia) atau "Strictly protect" (Sangat dilindungi).

Gedung Putih mengutuk pengungkapan dokumen-dokumen rahasia itu dengan menyebut pembocoran itu akan membahayakan keselamatan orang-orang yang berada di bawah rezim-rezim opresif (penindas) dan sangat berdampak negatif pada kepentingan luar negeri AS serta sekutunya.

"Untuk jelasnya, pengungkapan seperti itu membahayakan para diplomat dan agen-agen profesional kita dan orang-orang di seluruh dunia yang datang ke Amerika Serikata untuk memohon pertolongan dalam mempromosikan demokrasi dan pemerintahan yang terbuka," kata Juru Bicara Gedung Putih.

"Dengan menyebarkan dokumen-dokumen tercuri dan rahasia ini, WikiLeaks telah mempertaruhkan risiko tidak hanya perlindungan hak asasi manusia, tapi juga nyawa dan kerja orang-orang itu," sambungnya.

Para analis keamanan cenderung bersepakat bahwa pengungkapkan dokumen-dokumen itu sangat merusak diplomasi AS, sekaligus menggerus kerahasiaan yang adalah vital bagi para pemimpin asing dan para aktivis yang berbicara secara rahasia kepada para pejabat Amerika Serikat.

Membinasakan

"Ini sangat membinasakan," tulis Roger Cressey, mitra pada Goodharbor Consulting dan mantan pejabat keamanan cyber dan kontraterorisme AS, dalam komentar via emailnya.

"Pengungkapan ini akan mengurungkan niat tokoh-tokoh asing untuk berdiri di muka dan berkata jujur saat berbicara dengan para diplomat Amerika, serta akan membuat para diplomat AS bimbang ketika mengirimkan informasi rahasia lewat kabel diplomatik karena mereka takut dibocorkan."

Pengungkapan dokumen-dokumen itu dilaporkan luas selama lebih dari seminggu dan diperkirakan berlangsung sampai Minggu.

Pemerintah AS yang dilapori mengenai muatan-muatan dokumen yang bocor itu, telah menghubungi pemerintahan-pemerintahan seluruh dunia, termasuk Rusia, Eropa dan Timur Tengah, dalam upayanya mempersempit kerusakan diplomatik.

Gedung Putih memperingatkan para pembaca dokumen rahasia itu bahwa laporan lapangan dalam dokumen-dokumen itu seringkali tidak paripurna dan tidak sepenuhnya menggambarkan atau bahkan mewakili proses pembuatan keputusan politik.

Emile Hokayem, pakar pada International Institute for Strategic Studies (CSIS) mengatakan bahwa pengungkapan yang dramatik bahwa laporan Raja Arab Saudi Abdullah menasihati AS untuk menyerang Iran berdampak secara diplomatik mungkin terlalu berlebihan.

"Keprihatian negara-negara Arab di Teluk terhadap program nuklir Irak sangat akut sejak 2002. Negara-negara ini melewati masa yang teramat sulit untuk membicarakan keprihatinan mereka itu.

"Adalah sangat mungkin negara-negara Teluk itu mengadopsi retorika yang sangat agresif, hanya untuk menekankan kemendesakan isu tersebut. Namun saya pribadi meragukan bahwa sebenarnya tidak ada hasrat dari mereka untuk berperang," kata Hokayem.

Di antara rahasia-rahasia yang bocor dan dilaporkan New York Times adalah:

-- Kecurigaan bahwa Iran telah memperoleh peluru kendali-peluru kendali canggih dari Korea Utara yang mampu menjangkau Eropa Barat, dan AS khawatir Iran menggunakan roket-roket Korut ini sebagai tameng untuk memuluskan pengembangan rudal-rudal jarak jauh;
-- Tuduhan bahwa agen-agen rahasia China telah menembus komputer-komputer pemerintah AS dan sekutu Baratnya, Dalai Lama dan pengusaha Amerika sejak 2002;
-- Pembicaraan antara para pejabat AS dan para petinggi Korea Selatan mengenai prospek unifikasi Korea harus dilakukan ketika ekonomi Korea Utara menghadapi kesulitan dan bahwa proses transisi politik di Korea Utara akan membuat negara itu kacau;
-- Korea Selatan mempertimbangkan menggunakan bujukan-bujukan komersial kepada China untuk membantu meredakan kekhawatiran China akan bertetangga dengan sebuah Korea yang bersatu namun bersekutu dekat dengan Washington, demikian laporan Duta Besar AS di Seoul;
-- Laporan bahwa para donatur Saudi tetap menjadi penyokong dana terbesar untuk kelompok-kelompok militan Sunni sejenis Alqaeda, dan bahwa negeri mini di Teluk Persia, Qatar, yang menjadi pangkalan militer AS selama bertahun-tahun adalah mitra terburuk dalam kampanye kontraterorisme di kawasan itu. Yang ini adalah rekomendasi Departemen Luar Negeri AS pada Desember lalu;
-- Sejak 2007, Amerika Serikat telah memperketat kerahasiaan dan sebegitu jauh tidak berhasil memindahkan uranium diperkaya pada reaktor riset di Pakistan karena khawatir itu bisa dialihkan untuk digunakan bagi tujuan-tujuan terlarang.

Baru-baru ini WikiLeaks melaporkan bahwa lamannya telah diserang, namun menandaskan akan tetap mempublikasikan dokumen-dokumen rahasia lainnya sekalipun laman itu ambruk.

DARAH DAN AIR MATA DEMI HAM

JAMBI EKSPRES:
Jumat, 10 Desember 2010 17:26 WIB | Artikel
F.x. Lilik Dwi Mardjianto
Darah Dan Air Mata Untuk Tegaknya HAM

Seorang mahasiswa Universitas Trisakti menabur bunga memperingati tragedi 12 Mei 1998 di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat

Aksi Kamisan terus berlanjut. Sejumlah orang yang merasa menjadi korban atau keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tekun menggelar aksi yang digelar setiap Kamis di depan Istana Merdeka.

Sejak 2007, mereka meluangkan waktu selama satu jam, setiap Kamis sore, untuk sekedar berdiri dan diam di depan pusat kekuasaan negeri ini. Diam adalah bentuk perlawanan mereka.

Hingga penghujung 2010, terutama menjelang peringatan Hari HAM Internasional setiap 10 Desemmber, mereka tetap setia. Mereka menggunakan tata cara yang sama setiap kali beraksi.

Sejumlah payung hitam bertuliskan peristiwa-peristiwa pelanggaran ham dan pakaian serba hitam adalah ciri khas mereka. Aksi itu juga selalu dibuka dan ditutup dengan doa.

Sumarsih menyatu dalam keheningan doa tersebut. Dia selalu setia pada aksi sunyi itu. Wanita paruh baya ini merasa bertanggung jawab untuk memperjuangkan keadilan atas kematian anaknya, Wawan, akibat tertembus peluru aparat dalam aksi mahasiswa 1998.

Dia bercerita, Wawan tergabung dalam regu penyelamat ketika ribuan mahasiswa yang lain menggelar aksi pada 1998 untuk menuntut Sidang Istimewa, sesaat setelah Presiden Soeharto lengser.

Saat itu, kata Sumarsih, sebagian mahasiswa terpusat di kawasan Semanggi, khususnya di kampus Universitas Atma Jaya.

Polisi bersama tentara berhadapan dengan mahasiswa. Bahkan, sejumlah aparat berjaga di atas jalan layang, lengkap dengan senjata penghalau massa.

"Tentara di atas jembatan Semanggimengarahkan senjata mereka ke arah mahasiswa, menembak dan langsung mundur sambil menyanyi dan menari bahagia," kata Sumarsih ketika ditemui di rumahnya.

Dalam riuh teriakan mahasiswa dan rentetan suara tembakan, Wawan keluar dari dalam kampus karena melihat temannya tergeletak di halaman. Nalurinya sebagai anggota regu penyelamat membuncah. Dia berlari dengan mengibarkan kain putih tanda perdamaian, menuju temannya yang tak berdaya.

Sumarsih menuturkan, semua terjadi begitu cepat. Anaknya kehilangan nyawa ketika hendak menyelamatkan nyawa orang lain. Wawan tertembak di dada.

Wanita berambut putih itu begitu terguncang. Air matanya selalu menetes ketika mengenang anaknya yang malang.

Sejak kematian Wawan, Sumarsih tidak makan nasi. Dia melakukan hal itu sebagai bentuk keprihatinan sekaligus perjuangan demi keadilan. Dia juga masih menyimpan kaos putih yang dikenakan Wawan pada saat ajal menjemput.

Keprihatinan Sumarsih itu melebur dalam duka para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang setia berkumpul setiap Kamis.

Aksi keprihatinan itu bukan hanya untuk peristiwa 1998. Para peserta aksi mengusung tuntutan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM di seluruh Indonesia.

Beberapa dari mereka adalah korban peristiwa 1965, kekerasan di Talang Sari Lampung, Tanjung Priok Jakarta, dan masih banyak kasus pelanggaran HAM lainnya.

Aksi Kamisan yang terus berlanjut adalah pertanda penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM belum tuntas.

Hal itu dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Indriaswati Dyah Saptaningrum.

"Dua agenda besar yang gagal direalisasikan sepanjang tahun ini adalah tanggung jawab penyelesaian pelanggaran ham di masa lalu, dan kekerasan kelompok massa serta aparatus negara terhadap masyarakat marjinal," katanya dalam pernyataan resmi untuk memperingati Hari HAM Internasional 2010.

Dia mengartikan kekerasan sebagai perlakuan tidak menyenangkan terhadap kelompok agama minoritas dan kekerasan aparat penegak melalui praktek kriminalisasi terhadap petani dalam berbagai konflik yang terkait ekspansi perkebunan sawit. Selain itu, dia juga menyinggung kekerasan aparat terhadap mereka yang diduga melakukan tindak pidana.

ELSAM mencatat sejumlah kasus pelanggaran HAM sampai dengan awal Desember 2010, yaitu 120 kasus kriminalisasi terhadap petani, dan 99 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang sebagian mengakibatkan kematian.

Selain itu, data ELSAM juga menunjukkan bahwa sampai 8 Desember 2010 telah terjadi 38 penyerangan dan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah serta sejumlah gereja yang dilakukan oleh kelompok-kelompok terorganisir garis keras.

ELSAM menuntut pemerintah untuk menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Organisasi itu jugua meminta pemerintah mencegah pelanggaran HAM sesuai dengan program yang termuat dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) dan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan.

Pemerintah juga diminta mencabut kebijakan-kebijakan yang menghambat dan mengancam kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, seperti UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik; UU No. 44 tahun tentang Pornografi, UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, dan peraturan-peraturan turunannya.

Sumarsih dan para korban pelanggaran HAM tetap setia dalam perjuangan untuk mendapatkan keadilan. Di dalam hati mereka tergantung tanda tanya besar; akankah pemerintah juga setia untuk memenuhi janji yang telah terucap?
0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar