JAMBI EKSPRES:
Hefni Effendi
Konon bumi Parahyangan dikreasi oleh Sang Khalik selagi Dia tersenyum, maka jadilah ia sebuah hamparan ekologis yang cantik, elok, dan subur.
Demikian pula halnya bumi Nusantara ini yang diciptakan diantara dua sela tipologi alam yang besar yakni benua Asia dan Australia, pertemuan Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, diantara dua poros bumi lintang utara dan lintang selatan, disinari matahari sepanjang tahun.
Perbedaan karakteristik spesifik kedua kelompok ekosistem terestrial dan ekosistem akuatik tersebut menyiratkan berkah bagi terciptanya kekhasan ekosistem di bumi Nusantara ini dari sisi keanekaragaman, keunikan, keindahan bentang alam, kemelimpahan sumberdaya alam, dsb yang tak ada rivalnya di jagad ini.
Sebut saja zona segitiga terumbu karang (coral triangle), garis Wallacea, hutan hujan tropis yang dipengaruhi monsoon, Pulau Komodo yang menyisakan fosil hidup hewan purba, potensi bahan mineral, potensi migas dan panas bumi, dan keunikan relung (niche) ekologis lainnya, masing-masing merumahi species makhluk hidup specifik, bahkan banyak yang belum ada nama ilmiahnya.
Tak heran manakala ekspatriat asing yang ahli taksonomi melakukan ekspedisi di pedalaman hutan atau di laut yang relatif masih virgin, sering menjumpai species baru. Ketika Dr. Harry Palm (pakar zoologi) dari Jerman melakukan riset jangka panjang dan paripurna di IPB, dia berhasil menemukan beberapa parasit ikan dari kelompok cacing-cacingan yang merupakan species baru.
Jadi, peluang penemuan baru (novelty) dari kajian sumberdaya alam di Nusantara ini masih terhampar luas. Maka dari itu negara kita terus menjadi atraktan peneliti dan pebisnis asing yang berminat meriset dan mengeruk sumberdaya alam baik yang ada di permukaan bumi maupun di perutnya.
Tengok saja di sektor pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas alam (migas), porsi terbesar alokasi (kavling) untuk menggali sumberdaya alam tersebut didominasi oleh pebisnis asing.
Di sektor kelautan dan perikanan, pun kita seolah lunglai. How could ? sebuah perusahaan BUMN perikanan di Sorong bisa gulung tikar, padahal potensi perikanan di sana luar biasa berlimpah.
Tambak Inti Rakyat di Karawang juga tak pernah terdengar lagi kiprahnya. Padahal suatu perusahaan tambak terpadu di Lampung yang awalnya perusahaan asing terus kepak-kan sayapnya. Teknologi tambak biocrete yang dapat melanggengkan usaha pertambakan diinvensi oleh Dr. Bambang Widigdo (Dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB).
Terkadang ada excuse untuk hal itu, semisal kapital dan ekspertis kita belum memadai ! Tapi bukankah sebagian besar pekerja terampil dari perusahaan PMA tersebut diisi oleh bangsa kita sendiri ?
Di Jambi, ada suatu perusahaan migas asing yang mengoperasikan Gas Plant (pengolahan gas alam) yang operatornya 100 % bangsa kita. Bahkan dalam pengelolaan lingkungan mereka mengantongi peringkat hijau dari KLH, maknanya sudah lebih dari hanya sekedar taat (beyond compliance). Jadi kelemahan keahlian terpatahkan oleh fakta ini. Lalu dimana masalahnya ?
Ketika kita berceloteh normatif tentang kekayaan dan kemelimpahan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, kekayaan laut dan daratan, potensi permukaan bumi dan bawah permukaan (sub surface), potensi tangible dan intangible, keelokan dan keindahan landscape ekologi; pernahkah kita melihat ada dokumen inventarisasi baik secara kualitatif dan kuantitatif tentang semua anugerah Ilahi tersebut, rasanya belum?
Inventarisasi Sumberdaya Alam, Ekoregion, dan RPPLH
Dalam rangka itulah maka secara tegas Undang Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolalan Lingkungan Hidup mengamanahkan perlunya dilakukan Inventarisasi Sumberdaya Alam dan Ekoregion.
Inventarisasi sumberdaya alam mencakup: potensi dan ketersediaan, jenis yang dimanfaatkan, bentuk penguasaan, upaya pengelolaan, kriteria dan bentuk kerusakan, potensi konflik dan penyebab konflik.
Inventarisasi dilakukan baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Adapun satuannya bisa berupa nasional, pulau, atau hamparan ekosistem.
Melalui inventarisasi sumberdaya alam ini selanjutnya ditetapkan ekoregion. Dalam penetapan ekoregion juga dipertimbangkan: sebaran potensi sumberdaya alam, keragaman karakter dan fungsi ekologis, karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, potensi bencana, flora dan fauna, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan masyarakat, kearifan lokal, dsb.
Selanjutnya inventarisasi sumberdaya alam dan ekoregion ini diintegrasikan dalam dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
Dengan adanya UU 32/2009, setiap pemanfaatan sumberdaya alam, wajib berpatokan pada RPPLH. Setiap pemanfaatan ruang, wajib didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengacu pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), serta daya dukung dan daya tampung.
Daya dukung lingkungan hidup diartikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup dimaknai sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan berdasarkan kaidah daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan: keberlanjutan proses dan fungsi ekologis, keberlanjutan produktivitas lingkungan; keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
RPPLH memberi arah dalam pemanfaatan sumberdaya alam, yang juga berfaedah dalam meminimumkan dampak suatu kegiatan terhadap lingkungan, serta dampak karakteristik dan dinamika lingkungan terhadap kegiatan.
Jadi upaya pengelolaan dampak ini dilakukan sejak dini, jauh sebelum suatu proyek dieksekusi, yakni pada tataran perencanaan (preemptive). Inilah yang membedakan UU 32/2009 dengan UU 23/1997.
Pengelolaan lingkungan lebih komprehensif dan merupakan kesatuan dari unsur pengelolaan yang utuh mulai dari tahap: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
RPPLH pada intinya berisi perencanaan tertulis memuat potensi, pemanfaatan, dan pencadangan sumberdaya alam; permasalahan lingkungan hidup; pemeliharaan fungsi lingkungan; pengendalian, pemanfaatan, pendayagunaan, dan pelestarian sumberdaya alam; adaptasi-mitigasi, dsb. RPPLH dijadikan acuan bagi penyusunan Rancangan Pembangunan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Dengan kelak adanya dokumen inventarisasi sumberdaya alam, ekoregion, dan RPPLH ini diharapkan nantinya kita tak hanya pandai berkisah kemelimpahan kekayaan sumberdaya alam, tapi juga cerdik mengkuantifikasi dan memanfaatkan sumberdaya berlimpah ruah tersebut, agar hegemoni asing dalam eksploitasinya lambat laun dapat kita ambil alih, semoga.
0 komentar
Hefni Effendi
Konon bumi Parahyangan dikreasi oleh Sang Khalik selagi Dia tersenyum, maka jadilah ia sebuah hamparan ekologis yang cantik, elok, dan subur.
Demikian pula halnya bumi Nusantara ini yang diciptakan diantara dua sela tipologi alam yang besar yakni benua Asia dan Australia, pertemuan Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, diantara dua poros bumi lintang utara dan lintang selatan, disinari matahari sepanjang tahun.
Perbedaan karakteristik spesifik kedua kelompok ekosistem terestrial dan ekosistem akuatik tersebut menyiratkan berkah bagi terciptanya kekhasan ekosistem di bumi Nusantara ini dari sisi keanekaragaman, keunikan, keindahan bentang alam, kemelimpahan sumberdaya alam, dsb yang tak ada rivalnya di jagad ini.
Sebut saja zona segitiga terumbu karang (coral triangle), garis Wallacea, hutan hujan tropis yang dipengaruhi monsoon, Pulau Komodo yang menyisakan fosil hidup hewan purba, potensi bahan mineral, potensi migas dan panas bumi, dan keunikan relung (niche) ekologis lainnya, masing-masing merumahi species makhluk hidup specifik, bahkan banyak yang belum ada nama ilmiahnya.
Tak heran manakala ekspatriat asing yang ahli taksonomi melakukan ekspedisi di pedalaman hutan atau di laut yang relatif masih virgin, sering menjumpai species baru. Ketika Dr. Harry Palm (pakar zoologi) dari Jerman melakukan riset jangka panjang dan paripurna di IPB, dia berhasil menemukan beberapa parasit ikan dari kelompok cacing-cacingan yang merupakan species baru.
Jadi, peluang penemuan baru (novelty) dari kajian sumberdaya alam di Nusantara ini masih terhampar luas. Maka dari itu negara kita terus menjadi atraktan peneliti dan pebisnis asing yang berminat meriset dan mengeruk sumberdaya alam baik yang ada di permukaan bumi maupun di perutnya.
Tengok saja di sektor pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas alam (migas), porsi terbesar alokasi (kavling) untuk menggali sumberdaya alam tersebut didominasi oleh pebisnis asing.
Di sektor kelautan dan perikanan, pun kita seolah lunglai. How could ? sebuah perusahaan BUMN perikanan di Sorong bisa gulung tikar, padahal potensi perikanan di sana luar biasa berlimpah.
Tambak Inti Rakyat di Karawang juga tak pernah terdengar lagi kiprahnya. Padahal suatu perusahaan tambak terpadu di Lampung yang awalnya perusahaan asing terus kepak-kan sayapnya. Teknologi tambak biocrete yang dapat melanggengkan usaha pertambakan diinvensi oleh Dr. Bambang Widigdo (Dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB).
Terkadang ada excuse untuk hal itu, semisal kapital dan ekspertis kita belum memadai ! Tapi bukankah sebagian besar pekerja terampil dari perusahaan PMA tersebut diisi oleh bangsa kita sendiri ?
Di Jambi, ada suatu perusahaan migas asing yang mengoperasikan Gas Plant (pengolahan gas alam) yang operatornya 100 % bangsa kita. Bahkan dalam pengelolaan lingkungan mereka mengantongi peringkat hijau dari KLH, maknanya sudah lebih dari hanya sekedar taat (beyond compliance). Jadi kelemahan keahlian terpatahkan oleh fakta ini. Lalu dimana masalahnya ?
Ketika kita berceloteh normatif tentang kekayaan dan kemelimpahan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, kekayaan laut dan daratan, potensi permukaan bumi dan bawah permukaan (sub surface), potensi tangible dan intangible, keelokan dan keindahan landscape ekologi; pernahkah kita melihat ada dokumen inventarisasi baik secara kualitatif dan kuantitatif tentang semua anugerah Ilahi tersebut, rasanya belum?
Inventarisasi Sumberdaya Alam, Ekoregion, dan RPPLH
Dalam rangka itulah maka secara tegas Undang Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolalan Lingkungan Hidup mengamanahkan perlunya dilakukan Inventarisasi Sumberdaya Alam dan Ekoregion.
Inventarisasi sumberdaya alam mencakup: potensi dan ketersediaan, jenis yang dimanfaatkan, bentuk penguasaan, upaya pengelolaan, kriteria dan bentuk kerusakan, potensi konflik dan penyebab konflik.
Inventarisasi dilakukan baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Adapun satuannya bisa berupa nasional, pulau, atau hamparan ekosistem.
Melalui inventarisasi sumberdaya alam ini selanjutnya ditetapkan ekoregion. Dalam penetapan ekoregion juga dipertimbangkan: sebaran potensi sumberdaya alam, keragaman karakter dan fungsi ekologis, karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, potensi bencana, flora dan fauna, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan masyarakat, kearifan lokal, dsb.
Selanjutnya inventarisasi sumberdaya alam dan ekoregion ini diintegrasikan dalam dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
Dengan adanya UU 32/2009, setiap pemanfaatan sumberdaya alam, wajib berpatokan pada RPPLH. Setiap pemanfaatan ruang, wajib didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengacu pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), serta daya dukung dan daya tampung.
Daya dukung lingkungan hidup diartikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup dimaknai sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan berdasarkan kaidah daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan: keberlanjutan proses dan fungsi ekologis, keberlanjutan produktivitas lingkungan; keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
RPPLH memberi arah dalam pemanfaatan sumberdaya alam, yang juga berfaedah dalam meminimumkan dampak suatu kegiatan terhadap lingkungan, serta dampak karakteristik dan dinamika lingkungan terhadap kegiatan.
Jadi upaya pengelolaan dampak ini dilakukan sejak dini, jauh sebelum suatu proyek dieksekusi, yakni pada tataran perencanaan (preemptive). Inilah yang membedakan UU 32/2009 dengan UU 23/1997.
Pengelolaan lingkungan lebih komprehensif dan merupakan kesatuan dari unsur pengelolaan yang utuh mulai dari tahap: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
RPPLH pada intinya berisi perencanaan tertulis memuat potensi, pemanfaatan, dan pencadangan sumberdaya alam; permasalahan lingkungan hidup; pemeliharaan fungsi lingkungan; pengendalian, pemanfaatan, pendayagunaan, dan pelestarian sumberdaya alam; adaptasi-mitigasi, dsb. RPPLH dijadikan acuan bagi penyusunan Rancangan Pembangunan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Dengan kelak adanya dokumen inventarisasi sumberdaya alam, ekoregion, dan RPPLH ini diharapkan nantinya kita tak hanya pandai berkisah kemelimpahan kekayaan sumberdaya alam, tapi juga cerdik mengkuantifikasi dan memanfaatkan sumberdaya berlimpah ruah tersebut, agar hegemoni asing dalam eksploitasinya lambat laun dapat kita ambil alih, semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar