Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Begitu kira-kira yang terjadi di industri rokok. Tekanan boleh datang dari segala penjuru. Misalnya, setelah pemerintah membuat peta jalan (road map) pembatasan produksi rokok, terakhir fatwa haram rokok dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah. Namun, kinerja industri rokok tetap ngebul.
Tahun ini saja, produsen rokok yakin produksi bakal naik dibanding tahun lalu. Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Sudaryanto memprediksi, sampai akhir 2010 produksi rokok nasional bakal mencapai 265 miliar batang. Padahal, dalam road map Kementerian Perindustrian, tahun ini produksi rokok targetnya 250 miliar batang, naik 2,04 persen ketimbang 2009 yang sebesar 245 miliar batang.
Artinya, pada tahun ini ada kelebihan produksi rokok sebesar 15 miliar batang ketimbang target yang ditetapkan. Lonjakan produksi hampir terjadi di semua kelas, baik produsen skala kecil maupun besar. Di perusahaan besar, peningkatan pasar tergambar dari kinerja perusahaan.
Tengok saja kinerja PT Gudang Garam Tbk. Per Juni 2010, emiten saham berkode GGRM ini, membukukan laba bersih Rp 1,78 triliun. Angka ini naik 24,48 persen dibanding periode sama tahun lalu sebesar Rp 1,43 triliun.
Emiten rokok lainnya, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk atau HM Sampoerna (HMSP), pada periode enam bulan pertama tahun ini mencatat pertumbuhan laba bersih 14,8 persen dibanding periode sama 2009 menjadi Rp 2,89 triliun. Kenaikan laba An terdorong kenaikan pendapatan, dari Rp 18,66 triliun di semester pertama 2009, menjadi Rp 20,62 triliun rupiah per Juni 2010.
"Kami berinovasi terus-menerus demi mempertahankan posisi kami sebagai pemimpin pasar," ujar Yos Adiguna Ginting, Direktur Hubungan Perusahaan Sampoerna.
Bentoel International Investama Tbk (RMBA) juga mencetak kenaikan laba bersih 386 persen menjadi Rp 112,603 miliar pada semester pertama 2010. Laba itu terdongkrak peningkatan penjualan sekitar 53 persen menjadi Rp 4,37 triliun.
Agaknya memang sulit mengendalikan produksi rokok. Padahal, bagi pembatasan produksi rokok, pemerintah telah melakukan berbagai cara, demi mengurangi peredaran rokok.
Sebut saja pembatasan produksi rokok dengan cara menaikkan tarif cukai rokok bagi industri rokok. Harapannya, dengan menaikkan tarif cukai rokok tersebut, industri yang tidak mampu membayar cukai rokok akan menghentikan produksinya.
Akibat tidak ada sanksi
Sebagai catatan, awal tahun ini, pemerintah menaikkan tarif untuk semua jenis rokok. Tarif rata-rata rokok sigaret kretek mesin (SKM) yang dipatok Rp 263,1 dinaikkan menjadi Rp 266 per batang. Tarif rata-rata rokok sigaret putih mesin (SPM), naik dari Rp 204,5 menjadi Rp 246,2 per batang. Sementara rokok sigaret kretek tangan (SKT) naik dari Rp 135,3 menjadi Rp 151,9 per batang.
Selain itu, Kementerian Perindustrian telah membatasi produksi rokok melalui road map industri rokok hingga 2015. Sesuai road map tersebut, target produksi rokok tahun 2010 akan dibatasi 250 miliar batang, dan pada tahun 2015 hanya mencapai sekitar 260 miliar batang. Target pertumbuhan industri rokok ini, dibuat secara bertahap.
Persoalannya, road map itu bisa jadi cuma ibarat macan kertas belaka. Buktinya, produksi rokok kita terus membesar dari tahun ke tahun.
Jika pada tahun 2000 produksi masih 213 miliar batang, 2009 sudah 245 miliar batang, atau naik 15 persen. Selama lima tahun terakhir saja, angka produksi rokok melonjak 21,28 persen, dari 202 miliar batang pada 2005, menjadi 245 miliar batang pada 2009. Dan, tahun ini, produksi menurut prediksi AMT1 bisa mencapai 265 miliar batang.
Lantas, kenapa produksi rokok Indonesia terus membesar? "Selain karena pasarnya tersedia, kelebihan produksi ini karena masih banyaknya industri rokok skala kecil yang tumbuh di Indonesia," ujar Sudaryanto. Penyebab lain, kata dia, belum ada aturan yang menyebut rokok adalah produk yang dilarang perdagangannya.
Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian Warsono mengakui, hingga saat ini memang tidak ada sanksi yang dikenakan bagi industri jika produksi rokok melebihi target produksi. "Road map itu bukan aturan yang mengikat, dan angka di dalam road map itu hanya perkiraan atau ancar-ancar saja," ujarnya.
Penyebab lainnya, tingkat pemakaian rokok di dalam negeri terus meningkat. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi rokok di Indonesia mencapai 0,9 persen per tahun. Lonjakan konsumsi itu terdorong peningkatan angka konsumsi rokok para wanita.
Data Rumah Sakit Persahabatan Jakarta makin memperkuat sinyalemen itu. Meski tidak ada data detil, menurut catatan mereka, per tahun angka perokok wanita di Indonesia naik lima kali lipat lebih cepat dibanding laki-laki. Dalam sembilan tahun terakhir, konsumsi rokok oleh wanita meningkat 300 persen. Pada tahun 1995, jumlah perokok wanita barn 1,7 persen dari total penduduk, tahun 2007 mencapai 5,06 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar