Kudus sebagai kota kretek bukan sekadar slogan. Ini memiliki arti yang mendalam. Bagi warga Kudus, menjadi pengusaha rokok adalah sebuah kebanggaan. Kini kebanggaan itu mulai hilang seiring semakin ketatnya operasi penertiban pembayaran cukai oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Menjadi pengusaha rokok adalah usaha turun-temurun yang diwariskan nenek moyang warga Kudus. Walaupun beromzet kecil, menjadi penghasil rokok adalah sebuah keunggulan dalam tataran sosial masyarakat Kudus. Oleh karena itu, tidak akan mudah memberantas rokok polos atau rokok tanpa pita cukai maupun rokok dengan pita cukai palsu di kota yang menyumbang Rp 13,5 triliun penerimaan cukai ke negara ini.
”Pengusaha rokok Kudus tak akan sama dengan pengusaha rokok dari kota lainnya, misalnya Pati. Mereka itu bisa dibilang ngeyel (ngotot). Biarpun sudah dilarang membuat rokok tanpa cukai, tidak mudah menghentikannya. Upaya untuk menurunkan produksi rokok ilegal harus dilihat dari sisi sosialnya,” kata Mamiek Indrayani, peneliti industri rokok dari Lembaga Penelitian Universitas Muria, Kudus.
Aparat Ditjen Bea dan Cukai pun sadar soal ini. Mereka tahu ada beberapa pengusaha rokok rumahan yang sudah diingatkan agar tidak memproduksi rokok ilegal, tetapi masih mencari modus baru agar tetap memproduksi rokok ilegal dengan pita cukai palsu. Padahal, teknologi yang dilekatkan di selembar pita cukai itu sudah sangat maju dan selalu diperbarui setiap tahun oleh Ditjen Bea dan Cukai serta produsen pita cukai rokok dari kelompok usaha Pura.
16 pengaman
Di sehelai pita cukai edisi 2008, misalnya, ada 16 ciri khusus pada hologram yang menjadi pengaman agar tidak dipalsukan. Hologram ditemukan ilmuwan Hongaria, Dennis Gabor, tahun 1947 yang membuatnya meraih hadiah Nobel Fisika tahun 1971. Hologram diproduksi tahun 1960 oleh Emmete Leith dan Joris Upatnieks dari Universitas Michigan, AS.
Ke-16 ciri pengaman itu bisa dibaca dengan beberapa cara, yakni secara kasatmata, memakai alat bantu berupa kaca pembesar, memakai filter invisible ink (alat pemancar sinar ultraviolet dipakai pihak bank saat menguji keaslian uang), menggunakan holo reader (alat pembaca hologram), serta cairan kimia yang disebut aktifator.
Secara kasatmata bisa dilihat warna dasar pita cukai, yakni hijau teh. Lalu, di bagian depan ada tulisan BC (Bea dan Cukai). Di latar belakang ada logo Ditjen Bea dan Cukai dan ornamen efek dinamik. Juga terlihat bagian demetalizing (berwarna logam) bertuliskan RI dan BC yang tegas dan jelas.
Bagian ini lebih jelas terlihat dengan kaca pembesar untuk mendapat efek bergantian pada tulisan mini, BCRI dan 2008, jika hologram digerakkan.
Dengan menggunakan filter invisible ink, akan terlihat ciri pengaman lain, yakni teks BCRI yang hanya muncul jika disorot sinar ultraviolet. Dengan bantuan holo reader, petugas mudah mendeteksi ada atau tidaknya unsur pengaman di hologram. Jika unsur pengaman tidak ada, di layar digital muncul kata ”gagal” (hologram itu palsu). Jika ada unsur pengaman, muncul tulisan ”teridentifikasi” (hologram asli).
Adapun dengan cairan kimia, akan diketahui keaslian tinta pita cukai. Jika tinta luntur, pita cukai itu palsu.
Maksimal
Pengamanan sudah sangat maksimal, tetapi para produsen rokok ilegal itu tetap ada. Buktinya, muncul rokok polos, rokok yang diperjualbelikan tanpa pita cukai. Selain itu, mereka juga menempelkan pita cukai bekas pakai.
Sejak tahun 2007, Ditjen Bea dan Cukai menyita 18,8 juta batang rokok ilegal seberat 31 ton bernilai Rp 7,64 miliar. Sebanyak 11 juta batang dimusnahkan pada 8 Desember 2009 di Kudus. Sisanya masih menjadi barang bukti pengadilan.
Selain rokok ilegal sitaan, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Kudus juga membentuk Unit Penindakan Cukai (UPC) yang dilengkapi senjata. Anggota UPC merupakan gabungan dari seksi intelijen, penindakan, dan penyidikan. Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Ismantoro menegaskan, pembentukan UPC di Kudus perlu karena banyaknya kegiatan produksi rokok ilegal. Hal ini akibat proses produksi rokok kretek sangat sederhana.
Selain itu, juga karena ada dana bagi hasil cukai yang harus digunakan untuk memberantas hasil tembakau ilegal. UPC juga diharapkan dapat memaksimalkan potensi masyarakat dalam memberantas rokok ilegal. ”Ini masih titik awal. Di satu sisi, rokok merusak kesehatan dan perlu dibatasi. Namun, di sisi lain, ada industri rokok yang sudah berdiri lama sehingga perlu penyesuaian. Kami hanya perlu menegakkan aturan, cukai harus dibayar,” ujar Ismantoro.
Di satu sisi, ada tanggung jawab pemerintah yang harus dipenuhi, yakni mengamankan penerimaan cukai yang cukup besar, Rp 50 triliun per tahun. Di sisi lain, ada industri rokok kecil yang menjadi sumber penghidupan yang butuh jalan keluar jika harus ditutup.
Kuncinya ada pada Roadmap 2020 Industri Rokok. Dalam rencana kerja pemerintah, dan disepakati dengan industri rokok, ada gambaran akan seperti apa industri rokok pada 10 tahun ke depan. Kesehatan adalah penting. Begitu juga nasib 1.900 pengusaha rokok yang kini ditutup di Kudus dan sekitarnya. Keduanya perlu perhatian dan keseimbangan.
Menjadi pengusaha rokok adalah usaha turun-temurun yang diwariskan nenek moyang warga Kudus. Walaupun beromzet kecil, menjadi penghasil rokok adalah sebuah keunggulan dalam tataran sosial masyarakat Kudus. Oleh karena itu, tidak akan mudah memberantas rokok polos atau rokok tanpa pita cukai maupun rokok dengan pita cukai palsu di kota yang menyumbang Rp 13,5 triliun penerimaan cukai ke negara ini.
”Pengusaha rokok Kudus tak akan sama dengan pengusaha rokok dari kota lainnya, misalnya Pati. Mereka itu bisa dibilang ngeyel (ngotot). Biarpun sudah dilarang membuat rokok tanpa cukai, tidak mudah menghentikannya. Upaya untuk menurunkan produksi rokok ilegal harus dilihat dari sisi sosialnya,” kata Mamiek Indrayani, peneliti industri rokok dari Lembaga Penelitian Universitas Muria, Kudus.
Aparat Ditjen Bea dan Cukai pun sadar soal ini. Mereka tahu ada beberapa pengusaha rokok rumahan yang sudah diingatkan agar tidak memproduksi rokok ilegal, tetapi masih mencari modus baru agar tetap memproduksi rokok ilegal dengan pita cukai palsu. Padahal, teknologi yang dilekatkan di selembar pita cukai itu sudah sangat maju dan selalu diperbarui setiap tahun oleh Ditjen Bea dan Cukai serta produsen pita cukai rokok dari kelompok usaha Pura.
16 pengaman
Di sehelai pita cukai edisi 2008, misalnya, ada 16 ciri khusus pada hologram yang menjadi pengaman agar tidak dipalsukan. Hologram ditemukan ilmuwan Hongaria, Dennis Gabor, tahun 1947 yang membuatnya meraih hadiah Nobel Fisika tahun 1971. Hologram diproduksi tahun 1960 oleh Emmete Leith dan Joris Upatnieks dari Universitas Michigan, AS.
Ke-16 ciri pengaman itu bisa dibaca dengan beberapa cara, yakni secara kasatmata, memakai alat bantu berupa kaca pembesar, memakai filter invisible ink (alat pemancar sinar ultraviolet dipakai pihak bank saat menguji keaslian uang), menggunakan holo reader (alat pembaca hologram), serta cairan kimia yang disebut aktifator.
Secara kasatmata bisa dilihat warna dasar pita cukai, yakni hijau teh. Lalu, di bagian depan ada tulisan BC (Bea dan Cukai). Di latar belakang ada logo Ditjen Bea dan Cukai dan ornamen efek dinamik. Juga terlihat bagian demetalizing (berwarna logam) bertuliskan RI dan BC yang tegas dan jelas.
Bagian ini lebih jelas terlihat dengan kaca pembesar untuk mendapat efek bergantian pada tulisan mini, BCRI dan 2008, jika hologram digerakkan.
Dengan menggunakan filter invisible ink, akan terlihat ciri pengaman lain, yakni teks BCRI yang hanya muncul jika disorot sinar ultraviolet. Dengan bantuan holo reader, petugas mudah mendeteksi ada atau tidaknya unsur pengaman di hologram. Jika unsur pengaman tidak ada, di layar digital muncul kata ”gagal” (hologram itu palsu). Jika ada unsur pengaman, muncul tulisan ”teridentifikasi” (hologram asli).
Adapun dengan cairan kimia, akan diketahui keaslian tinta pita cukai. Jika tinta luntur, pita cukai itu palsu.
Maksimal
Pengamanan sudah sangat maksimal, tetapi para produsen rokok ilegal itu tetap ada. Buktinya, muncul rokok polos, rokok yang diperjualbelikan tanpa pita cukai. Selain itu, mereka juga menempelkan pita cukai bekas pakai.
Sejak tahun 2007, Ditjen Bea dan Cukai menyita 18,8 juta batang rokok ilegal seberat 31 ton bernilai Rp 7,64 miliar. Sebanyak 11 juta batang dimusnahkan pada 8 Desember 2009 di Kudus. Sisanya masih menjadi barang bukti pengadilan.
Selain rokok ilegal sitaan, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Kudus juga membentuk Unit Penindakan Cukai (UPC) yang dilengkapi senjata. Anggota UPC merupakan gabungan dari seksi intelijen, penindakan, dan penyidikan. Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Ismantoro menegaskan, pembentukan UPC di Kudus perlu karena banyaknya kegiatan produksi rokok ilegal. Hal ini akibat proses produksi rokok kretek sangat sederhana.
Selain itu, juga karena ada dana bagi hasil cukai yang harus digunakan untuk memberantas hasil tembakau ilegal. UPC juga diharapkan dapat memaksimalkan potensi masyarakat dalam memberantas rokok ilegal. ”Ini masih titik awal. Di satu sisi, rokok merusak kesehatan dan perlu dibatasi. Namun, di sisi lain, ada industri rokok yang sudah berdiri lama sehingga perlu penyesuaian. Kami hanya perlu menegakkan aturan, cukai harus dibayar,” ujar Ismantoro.
Di satu sisi, ada tanggung jawab pemerintah yang harus dipenuhi, yakni mengamankan penerimaan cukai yang cukup besar, Rp 50 triliun per tahun. Di sisi lain, ada industri rokok kecil yang menjadi sumber penghidupan yang butuh jalan keluar jika harus ditutup.
Kuncinya ada pada Roadmap 2020 Industri Rokok. Dalam rencana kerja pemerintah, dan disepakati dengan industri rokok, ada gambaran akan seperti apa industri rokok pada 10 tahun ke depan. Kesehatan adalah penting. Begitu juga nasib 1.900 pengusaha rokok yang kini ditutup di Kudus dan sekitarnya. Keduanya perlu perhatian dan keseimbangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar