Kamis, 02 September 2010

KREDIT UMKM TERSEDOT UNTUK KONSUMSI

Berita Kerinci Kredit pembiayaan yang disalurkan perbankan di Provinsi Jambi untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tampaknya kurang tepat sasaran. Pasalnya, peruntukan dananya lebih untuk keperluan konsumtif ketimbang sebagai modal kerja atau investasi. Demikian disampaikan Ketua Program Magister Ekonomika Pembangunan Pascasarjana Unja, DR M Syurya Hidayat SE. Data lima tahun terakhir yang dilansirnya Jumat (13/8) bahkan memperlihatkan tren penggunaan dana kredit untuk konsumsi terus naik. Ambil contoh, pada 2005. Dari kredit sebesar Rp 3,234 triliun untuk UMKM, sebesar Rp 1,682 triliun di antaranya digunakan untuk konsumsi. Angka ini jauh dibandingkan untuk keperluan investasi yang hanya sebesar Rp 407 miliar dan Rp 1,145 triliun untuk modal kerja. Lalu berturut-turut untuk keperluan konsumsi pada tahun berikutnya, adalah Rp Rp 1,9 triliun, Rp 2,7 triliun pada 2007, Rp 3,9 triliun pada 2008, dan pada 2009 sebesar Rp 4,5 triliun. Syurya menilai, hal ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi merugikan masyarakat tak mampu. “Kalau porsinya lebih banyak untuk pembiayaan konsumsi ketika ada kenaikan harga yang sangat mengalami dampaknya yaitu masyarakat miskin, mereka tidak mampu membeli barang tersebut,” paparnya saat ditemui Tribun, di Kampus Unja Telanaipura. Tapi, kata dia, di sisi lain hal ini bisa menggairahkan industri lainnya. Jadi, sambungnya, industri juga ikut maju. Peran Bank Pertumbuhan bank di Provinsi Jambi saat ini sangat bagus. Catatan Syurya, hingga tahun lalu ada sekitar 191 kantor bank. Padahal, pada 2008, hanya 155 kantor bank. Namun, ia menyayangkan peran bank belum maksimal. Menurutnya, bank masih sebatas tempat menukar uang, belum sampai menggerakkan ekspor impor di Provinsi Jambi. Tidak itu saja, ia melihat meski Jambi kaya dengan sektor pertanian, tapi pembiayaan perbankan lebih banyak ke sektor perdagangan. “Memang dari segi bisnis ini tentu tidak menyalahi, namun ini tidak terlalu berdampak kepada masyarakat karena pembiayaan perdagangan lebih banyak pengusaha-pengusaha,” jelasnya. Ia menambahkan, dari sisi bisnis, perputaran uang pada pembiayaan perdagangan jauh lebih cepat dibanding sektor pertanian. Data yang dimilikinya, untuk pembiayaan pertanian pada 2009 hanya sekitar Rp 2,2 triliun. Sedangkan di sector perdagangan mencapai Rp 2,8 triliun. Tapi, Ketua Perbanas Jambi, Suko Hadiananto menilai, hal itu tidak bisa digeneralisir. “Harus dipisahkan dulu antara provinsi dengan kota, kalau untuk di Kota Jambi wajar pembiayaan lebih banyak perdagangan,” kata Suko dikonfirmasi tentang tingginya kredit di sektor perdagangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar